Bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bagian dari agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf: 2)

Ibnu Kasir Rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ini: “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” [Tafsirul Qur’an Al-Adzim 4/366, Darul Thayyibah, cet.ke-2, 1420 H, Asy-Syamilah]

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan Sesungguhnya Al Qur’an ini benar – benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam, dia dibawa turun oleh Ar ruh Al Amiin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang – orang yang memberi peringatan, dengan Bahasa Arab yang jelas.” (As Syu’araa : 192-195)

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata,

“Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian, pelajarilah ilmu waris karena merupakan bagian dari agama kalian.” (Iqtidho’ shiratal mustaqim 527-528 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata,

“Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”(Iqtidho’ shiratal mustaqim hal 527 jilid I)

Hukum wajib diperoleh dari kaidah yang dibawakan oleh para ulama,

“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya (satu-satunya sarana, pent) maka ia juga hukumnya wajib.”

Agar lebih memahami kaidah ini, perhatikan contoh yang dibawakan oleh syaikh Utsaimin rahimahullah,

“Jika tiba waktu sholat, seseorang tidak mempunyai air (untuk berwudhu, pent), kemudian ia mendapati air yang di jual, maka apa hukum membeli air?”. Beliau manjawab, “wajib”. (catatan: ia sangat mampu membeli air dan membeli air satu-satunya sarana untuk berwudhu, pent).” (lihat syarhu nadzmil waroqoot hal 20, Darul Aqidah)

Jadi, mempelajari bahasa Arab hukumnya fardhu/wajib, dan perlu dirinci agar tidak salah paham, bahwa ada bagian bahasa Arab yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, serta tidak semua orang wajib mempelajarinya karena ada yang tidak mampu seperti orang sudah sangat tua dan tempat dimana tidak ada pengajaran bahasa Arab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’rablah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”(Iqtidha’ shiratal mustaqim hal 527 jilid I).

Kemudian yang dimaksud dengan bagian bahasa Arab yang fardhu ‘ain adalah ilmu nahwu dan shorof dasar sehingga cukup untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan bagian yang fardhu kifayah seperti ‘Aruudh dan Qafiyah (ilmu kaidah syair). Oleh karena itu, bagi para pemuda khususnya para pemegang estafet dakwah dan akan berbicara tentang agama di mimbar-mimbar maka tidak ada udzur untuk tidak belajar bahasa Arab.

Berusaha mengutamakan bahasa Arab dari bahasa yang lain

Mengingat keadaan kaum muslimin saat ini yang kurang peduli terhadap bahasa Arab dan menomorduakannya dari bahasa yang lain, maka perhatikan nasehat para ulama;

Syaikhul Islam rahimahullah berkata,

“Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan selain bahasa Arab, -bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an-, sehingga bahasa selain bahasa Arab menjadi kebiasaan bagi suatu daerah dan penduduknya, seseorang dengan sahabatnya, orang-orang dipasar atau para pejabat atau para karyawan atau para ahli fiqih, maka tidak diragukan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabbuh (menyerupai) dengan orang ‘ajam (non-Arab, saat itu mayoritas kafir, pent) dan ini hukumnya makruh.” (Iqtidho’ shiratal mustaqim hal 526 jilid I).

Imam Asy Syafi’i rahimahulloh -yang mazhabnya menjadi mazhab mayoritas di Indonesia- berkata,

“Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual-beli (berdagang) dengan nama tujjar (para pedagang-pent), kemudian Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa Arab. Sedangkan “samaasiroh” adalah nama dari bahasa ‘ajam (selain Arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa Arab menamai para pedagang kecuali dengan nama “tujjar” dan janganlah seseorang yang berbahasa Arab lalu ia menamakan sesuatu dengan bahasa ‘ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah , sehingga Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa penuntup para nabi, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan sepantasnya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain.”

Imam Syafi’i membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia menamakan dengan selain bahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa ‘ajam .” (lihat Iqtidho’ shiratal mustaqim hal 521-522 jilid I).